Pic courtesy Jenny Han |
Lara Jean
Covey adalah gadis romantis, yang tak berani jatuh cinta. Menyukai banyak pria,
tapi hanya sebatas mendambakan mereka.
Ia
mengungkapkan perasaannya lewat sepucuk surat, yang dimasukkan dalam amplop
berwarna-warni dan ditujukan langsung ke alamat lelaki yang ia sukai.
Setiap
suratnya ia tulis sepenuh hati, mulai
dari nama lengkap, kapan mereka pertama bertemu dan hal
apa yang membuatnya jatuh hati pada pria tersebut.
Terkadang
ia jatuh hati karena pria itu menghabiskan sore hari sambil hujan-hujanan
bersamanya. Ia juga bisa jatuh hati karena lelaki itu pandai berdansa dan
bergaya. Lara Jean
juga bisa tiba-tiba suka dengan pria karena ciuman yang tak disengaja. Sebelum
ciuman itu terjadi, Lara Jean bahkan tak peduli dengannya.
Tapi yang
paling pasti dan menjadi rahasia terdalam Lara Jean adalah ia menyukai tetangga,
yang juga teman sejak kecilnya, sekaligus pacar kakaknya. Ini yang paling
rumit.
Lara Jean
Covey, gadis blasteran Korea-Amerika, secara keseluruhan dalam 16 tahun
hidupnya telah menyukai 5 orang pria dan menulis surat untuk kelima pria
tersebut tentang perasaannya.
Hanya
saja, surat-surat itu tidak pernah sungguh-sungguh ia kirim ke mereka.
Melainkan ia simpan rapat-rapat di sebuah kotak topi, peninggalan dari mendiang
ibunya, dan tak pernah ia buka lagi. Seperti ia menutup rapat perasaannya dan
menjadikan pria-pria itu bukti masa lalu akan kebodohannya.
Hingga
pada suatu hari, kelima suratnya menghilang dan terkirim kepada pria-pria
tersebut. Di sini, petualangan cinta Lara Jean dimulai.
Bermula
ketika Peter Kavinsky, pria terpopuler di sekolah dengan ketampanan luar biasa,
menghampirinya dan mengatakan bahwa ia menerima suratnya dan merasa tersanjung
dengan isinya. “Tapi saya tidak bisa menerima perasaanmu, karena saya baru saja
putus dengan pacar saya,” kata Peter, sopan.
Peter Kavinsky and Lara Jean, courtesy Netflix |
Buat Lara
Jean, ini membingungkan dan mengejutkan. Ia pun tertawa saking tidak percaya
apa yang dihadapinya, hingga akhirnya ia sadar bahwa surat-surat yang ia tulis
telah menemukan pemiliknya. Amsyong.
Bukan
jawaban Peter yang pertama kali ia pikirkan saat itu, tapi nasib suratnya yang
lain. Terutama surat yang ia tujukan kepada Josh Sanderson si tetangga-teman
masa kecil- sekaligus pacar kakaknya itu.
Oh, Josh
tepatnya sudah (atau baru saja) menjadi mantan pacar kakaknya. Josh putus
dengan Margot, Kakak Lara Jean, karena Margot kuliah di Skotlandia dan tak bisa
jalani hubungan jarak jauh.
Tak ingin
Josh salah paham dan juga tak ingin mengkhianati Margot, kakaknya. Lara Jean
terpaksa berbohong, dan mengaku bahwa surat itu sudah tak ada artinya dan kini ia
sedang menjalin hubungan dengan Peter Kavinsky.
Semesta
seakan mendukung, Peter yang baru putus dengan Gen butuh gadis lain untuk
memanasi mantannya. Sementara Lara Jean, butuh pria yang bersedia pura-pura
jadi kekasihnya. Di sini, cerita tentang Peter-Lara Jean dimulai. Berawal
dengan menjalin hubungan palsu, kedua remaja ini perlahan membangun romansanya
tersendiri.
Buku vs Film
Jenny Han
menulis kisah Peter dan Lara Jean dalam tiga buku; To All The Boys I’ve Loved
Before, PS I Still Love You, dan Always and Forever.
Sebenarnya
saya sudah baca yang pertama sejak lama, tapi berkat kehadiran filmnya di
Netflix, dalam tiga hari langsung saya habiskan sisa triloginya. Dahsyat.
Pertanyaan
yang sering dilontarkan untuk buku yang difilmkan adalah, “Bagus mana, buku
atau filmnya?”
Buat
pencinta buku seperti saya, jawabannya sebenarnya mudah, yakni buku. Kecuali
Lord of The Rings trilogy, filmnya jauh lebih bagus ketimbang buku. Untuk yang
lain, buku selalu lebih juara.
Tapi
sebenarnya tidak adil membandingkan film dan buku. Buku akan selalu lebih
unggul karena kita bermain dengan imajinasi dan bermanja dengan waktu, kita
hanya terikat pada cerita dan menikmati karya si penulis. Sementara film, kita
berburu dengan waktu, membangun ekspektasi (yang takut diruntuhkan), dan berhadapan
dengan kepentingan industri yang lebih kompleks.
Kembali
ke cerita. To All The Boys I’ve Loved Before ini menawarkan cerita yang ringan.
Sangat-sangat ringan malah, dan cukup menghibur buat kamu-kamu yang memiliki
hari yang berat.
Segala
tindak tanduk Peter Kavinsky kepada Lara Jean minimal bisa bikin kamu
senyum-senyum sebelum tidur, dan lupa bahwa besok sudah harus kerja keras lagi.
Buku
karya Jenny Han ini tidak sehangat dan semanis karya Rainbow Rowell atau John Green, yang membacanya seperti menikmati teh di senja hari, hangat dan manis.
Jika buku
para maestro Yong Adult tadi seperti teh wangi yang panas, maka to all the boys
I’ve loved before ini seperti biskuit pendamping minum teh. Renyah.
Jenny Han
menyusun cerita yang sederhana dan mudah diterka, begitu kita selesai bab
pertama kita akan tahu endingnya. Kita akan tahu bahwa Jenny Han tidak mungkin
mengecewakan kita. Kita akan tahu bahwa membacanya bisa memberi efek bahagia.
Emosi
kita tidak banyak dimainkan oleh Jenny Han, kecuali saat-saat di mana saya rasa
konfliknya dipaksakan, tapi toh buku ini memang buku yang dirancang untuk
dinikmati saja bukan dipikirkan masuk akal atau tidaknya.
Membacanya
pun kita tahu, bahwa Jenny Han ingin membawa pembacanya mengingat-ngingat
kenangan masa lalu akan cinta pertama mereka. Dan dia memainkannya dengan rinci dan
lihai.
Aksi-aksi
kecil Peter Kavinsky bisa membuat kita ikut tersipu-sipu seperti Lara Jean,
misal saat Peter mengirimkan notes di secarik kertas pada Lara Jean yang
bertuliskan, “You look so beautiful in blue.”
awwwww.......
Peter
Kavinsky adalah keunggulan buku dan film ini, sosok remaja pria tanpa cela.
Sudahlah tampan, kaya, popular, sopan, santun, tidak mau berzina tanpa
persetujuan pacarnya, sayang mama, calon adik ipar, dan pacar. Kalau dia ada di
Indonesia pasti sudah dilirik parpol buat jadi caleg muda.
Alhamdulillahnya,
Netflix juga tidak salah memilih Noah Centineo untuk berperan sebagai Peter.
(Ya Alloh sekarang semua tergila-gila dengan Noah).
Untung Netflix pilih Noah Centineo, bukan Ariel Noah |
Peter di
film dan di buku memiliki karakter sama, hanya saja di buku lebih rinci dan
membuat kita makin sayang uwuwuwuwu sama Peter. Mohon maaf, itu uwuwuwuwuwu
ditulis karena susah dideskripsikan lagi gimana gemasnya kami dengan Peter
Kavinsky.
Sementara
Lara Jean, karakternya di film bisa dibilang lebih sedikit berani dan feminis.
Sementara di buku agak sedikit introvert.
Intinya,
buku dan film ini sangat-sangat layak dibaca jika kamu butuh sesuatu yang manis
dan ringan untuk hiburan di tengah keras dan pahitnya hidup. Saya pribadi
berharap Netflix mau menggarap kelanjutan To All The Boys I’ve Loved
Before..supaya ceritanya berlanjut seperti di buku.
Jadi buat
yang masih ragu untuk membaca atau menonton filmnya, seperti kata Jenny Han
dalam bukunya.. “Why not take a chance and bet on happiness?”
xoxo
1 komentar:
Menanti review/cerita mbakGoes nonton the nun,,hehe
Posting Komentar