Jumat, 28 November 2014

Komisi

Seporsi salmon panggang dan kentang tumbuk yang hambar sebenarnya cukup untuk mengisi perut ini. Tapi, irisan pizza yang kadung disodorkan oleh si Bapak, tak mungkin saya tolak.

Bapak itu asyik bercerita, sementara saya sibuk memotong irisan pizza dan menyeruput jus yang katanya alami.

Ceritanya panjang lebar, sepanjang karirnya dan selebar pengetahuannya. Sambil makan, saya terus mendengarkan. Ia tahu banyak soal seluk beluk dunia yang konon banyak mafianya. Tapi ia juga banyak tidak tahu, karena si mafia-mafia itu bekerja begitu rapi dan tertutup. Sehingga hasilnya seperti kentut, ada bau tapi tak ada wujud.

Karir yang begitu lama, pastilah ingin suatu saat ada di posisi puncak. Posisi yang prestisius, yang bisa membuat namanya muncul di koran. Dikutip sebagai pejabat publik, punya peranan penting dalam membuat kebijakan.

Si Bapak sebenarnya sadar, keinginannya itu bukan tak ada harga. Jabatan di negeri ini laksana jodoh yang hendak dipinang. Ada mahar yang harus diberi, sebelum bisa dinikmati.

“Saya tahu saya tidak akan lolos, tapi saya coba saja. Penasaran,” kata dia.

Senyum saya pun mengembang. Penasaran yang saya tahu enak untuk dilanjutkan hanya ‘Penasaran’ milik Bang Haji Rhoma. Penasaran yang lain kalau dilanjutkan, buntutnya pasti tidak enak. Apalagi penasaran di wilayah begitu.

Benar saja, buntutnya bukan cuma tidak enak. Menurut si Bapak, buntutnya itu sudah gak enak, harganya mahal pula. Tak masuk akal.

Kebetulan jabatan yang dia incar perlu yang namanya restu dari gerombolan senayan. Ia bersaing dengan beberapa kandidat, menyiapkan bahan presentasai , menjawab pertanyaan, hingga sedia mahar. Semua ia lakoni supaya bisa lolos seleksi.

Tahap awal dilalui dengan lancar, namanya masuk ke dalam sekian besar. Saya lupa. Kalau tidak ada halangan, esok hari akan diumumkan siapa yang lolos dan layak duduk di kursi tersebut.

Malam sebelum pengumuman, ia dipanggil. Menghadap ketua gerombolan, yang katanya pimpinan geng dari kubu berkuasa. Waktu itu.

“Saya diminta setor dua puluh lima juta,” sebut si Bapak.

“Dua puluh lima juta dolar ?” pikir saya, wah mahal sekali kalau begitu. Padahal itu jabatan yang menurut saya…tidak ada kerjaannya.

“Bukan, Rp 25 juta,” jawabnya.

Lah, ini kecil sekali. Apa saking tidak pentingnya ini badan. Masa iya harganya cuma segitu. Mahal bingung, terlalu murah juga bingung.

Tampaknya si Bapak tahu saya kebingungan, soalnya kalau lagi bingung saya nambah porsi makan.
“Rp 25 juta per orang,” tambahnya.

Alamak! Gerombolan itu jumlahnya berkodi-kodi. Kalau seorang dapat segitu dari satu calon, gila benar uang yang ditransaksikan di sana.

Saya pun bertanya lagi. “Itu untuk semuanya ? Semuanya tanpa kecuali ? ”

Harus saya tanya begitu. Soalnya suka banyak yang mengaku-ngaku bersih kalau sudah duduk di sana. 

Si Bapak mengangguk. Yang kaya begini, kata dia, bukan urusan cere-cere semacam staf. Kalau sudah begini, si tuan-tuan yang maju sendiri.

Dia masih lanjut cerita, cerita soal tarif yang tak pasti. Sebab rekan yang turut melamar posisi serupa, kena tarif lebih tinggi. Konon rekannya itu punya peluang tinggi untuk lolos.

Gerombolan yang dulu sih sudah pergi, sekarang sudah ganti gerombolan baru. Tapi tampaknya cuma ganti baju. Dalamnya masih sama.

Lalu saya mencari apa istilah lain yang bisa digunakan untuk menikmati uang selain dari gaji. Jawabannya adalah komisi. Mungkin itu sebabnya juga mereka dinamakan komisi, supaya segala sesuatu yang mereka harus kerjakan atau setujui bisa memberi mereka masukan tambahan selain dari gaji mereka.

Saya menatap nasi padang berhias tunjang di hadapan saya. Kembali ke kenyataan.

Semoga salmon panggang dan segala ceritanya tadi hanya mimpi.


Semoga itu bukan di negeri ini.

Rabu, 12 November 2014

Interstellar : Cinta Lima Dimensi, Galau Lintas Galaksi

Warning : spoiler abis, kalo belom nonton disarankan jangan baca. Tapi kalo tetep penasaran, gue udah ingetin loh ya….

Kicauan, review, serta komentar orang-orang di sosial media soal film garapan Christopher Nolan dalam beberapa hari ini ternyata ampuh membuat kami penasaran.

Tanpa rencana apapun dan dalam kondisi lazimnya para karyawan di tengah bulan (baca : bokek) , gue dan Rangga berhasil membujuk Ayu untuk menggesek kartu kreditnya dan nonton bareng film Hollywood yang bertema masa depan ini.

Demi menonton film yang kata orang-orang ;  luar biasa, dahsyat, mengagumkan, mengharu biru, penuh pesan tersirat, dan segala pujian lainnya itu…kami bertiga sampai lari-lari dari Grand Indonesia ke Plaza Indonesia sekitar jam 19.07 demi mengejar jam tayang sesi 19.15 waktu setempat. Drama abis.

Yah kan namanya mendadak, terus kami gak mau nonton terlalu larut. Gak baik perawan pulang malam-malam kata orang tua (sok iye). Kecuali Rangga ya, soalnya dia bukan perawan. Dia perjaka.
Sampai sana, ternyata jam 19.15 sudah habis tiket. Tayang lagi jam 20.15, akhirnya kami sepakat nonton jam segitu dan menyesal…..ngapain tadi mesti lari-larian dari GI segala kalo nontonnya masih lama. Namanya juga geng gak jelas.

pic cr to hollywoodreporter.com

Film diputar selama kurang lebih 3 jam, gak kalah ama film India. Bedanya, kalau dalam Film India banyak adegan sedih berlatar belakang hujan air, di Interstellar latar belakangnya hujan debu. Anti mainstream abis. Sayang lagu “Suci Dalam Debu” gak kepilih buat jadi sontrek nih film.

Usai film diputar, kami lelah. Sepanjang film bermain, kami pusing. Tenang, itu bukan karena salah filmnya. Kesalahan lebih kepada kapasitas otak kami yang gak bisa diajak mikir di luar jam kerja dan kondisi hati yang hobi nyama-nyamain setiap adegan dengan nasib diri sendiri.

Alhasil, sejak film mulai tayang sampai akhir, kami gak berhenti ngoceh, ngikik, dan komentar sana-sini. Gagal sedih dan terharu seperti yang orang-orang rasakan. Makanya, banyak yang gak kuat nonton bareng sama kami. Takut gagal paham atas pesan yang coba disampaikan film sesungguhnya (dan khawatir yang terngiang-ngiang justru komentar gak jelas dari bibir kami).

Nah, begini kira-kira interpretasi, komentar, dan reaksi kami terhadap film Interstellar :