Jumat, 10 Oktober 2014

Mercy Hitam

Sepanjang jalan si bapak mengoceh. Sebagian isinya istilah teknis yang tidak saya kenal. Kadang saya mengangguk dan mengiyakan, sebagai tanda saya masih mendengarkan. Atau sekedar tanda sopan santun saja. Tidak ada orang bicara tapi tidak ingin didengar. Apalagi oleh orang yang sedang numpang di dalam mobilnya. Seperti saya.

Bapak itu bicara lagi, kali ini benar-benar soal masalah yang tidak saya ketahui. Belum saya kuasai tepatnya. Tapi saya tetap menunjukkan mimik serius, peduli setan meski saya tak mengerti omongannya. Yang penting semua sudah direkam, masalah paham urusan belakangan.

Saya bertanya macam-macam, menggali informasi sebanyak mungkin. Kadang jawabannya melebar, sampai perlu saya ulang pertanyaan. Kalau sudah kepepet dan sedang tega, biasanya saya potong di tengah-tengah. Tapi tidak untuk hari ini, saya lagi baik hati.

Di mercy hitam itu, si bapak tidak hanya menjawab pertanyaan. Dia juga bercerita. Tentang film, tentang masalah negara ini, tentang banyak hal yang harus dibenahi, tentang suramnya sektor yang ia geluti.

“Blood Diamond. Kamu sudah pernah nonton filmnya ?” Tanya si bapak.

Saya jawab, belum.


Dia bilang itu film bagus, kurang lebih kondisi negara kita seperti di film itu.

Turun dari mercy hitam kami singgah ke sebuah hotel esklusif di Dharmawangsa. Hotel para pemangku kepentingan negara ini, khususon sektor energi dan pertambangan, saling bercengkrama.

Harusnya dia bertemu dengan orang penting lagi..atau lebih penting. Tapi ceritanya pada kami belum tuntas, penasaran kami belum usai.

Akhirnya kami duduk di sebuah ruangan, melanjutkan diskusi kami. Kali ini, prediksi masa depan. Sampai kira-kira setengah jam kemudian, kami mengakhiri pertemuan dan kembali ke kenyataan.

Blood Diamond, itu yang terngiang di kepala saya. Saya akan acuhkan film itu kalau yang merekomendasikan adalah seorang kawan. Tapi kalau pejabat negara yang sehari-hari mengurus nasib kita bilang harus tonton, maka saya harus cari.

Berselancar di dunia maya mengumpulkan informasi soal film yang penuh bintang itu. Kesimpulan saya satu, film yang mengerikan. Soal perang, tambang, dan darah. Sudah segelap itukah negara ini ? Saya tahu negara ini bobrok, tapi kalau pejabat saja sudah putus asa, bagaimana ?

Dari Dharmawangsa dan mercy hitam yang saya tumpangi, semua kemewahan itu, saya tarik.

Saya membawa ingatan saya ke rel kereta kumuh dan tanggul yang ada di dekatnya. Dari kemewahan hotel bintang lima, saya membawa diri saya ke kampung-kampung.

Lalu saya ingat belasan anak jalanan yang ternyata….masih punya impian.
Saya ingat tawa mereka saat saya lontarkan beberapa cerita soal apa saja.
Saya ingat gulai kambing hasil qurban yang mereka masak sendiri selama berjam-jam untuk dimakan bersama.

Saya senyum membayangkan tingkah mereka saat mengingatkan saya untuk solat jamaah.

Di rel, di tanggul yang kumuh, surga bisa tercipta.
Di hotel, di mobil yang mewah, mereka mengurai dan terbelit masalah.

Dunia yang mewah itu gelap. Di dalam mercy ada setumpuk berkas masalah. Di dalam hotel ada sejumlah lobi yang harus dijalin. Isinya hanya beban. Terlalu pekat.

Sering berada dekat mereka membuat kita ikut terseret, ke dunia yang begitu.

Sesekali, mainlah ke pojok-pojok Jakarta paling kumuh. Mainlah ke sekolah-sekolah sederhana. Supaya kita masih bisa melihat dan tahu apa yang namanya harapan.
Supaya kita tidak menjadi kelabu.


Jakarta 10 Oktober 2014.

Tidak ada komentar: