Kamis, 02 September 2021

Review Modern Love Season I : Kisah Cinta dengan Makna Romantis yang Berbeda

“Love is a lot of things.” 

Kata Emma, kepada Joshua. 


Sejenak, kita review serial dari negeri barat dan tinggalkan drama-drama Korea yang sedang hype banget ya….


Kali ini, gue akan membahas soal serial “Modern Love” – Season 1 yang sebenarnya sudah tayang di 2019 (kalau gak salah), tapi baru gue tonton sampai khatam sekitar bulan lalu. Dan, gue sama sekali tidak menyesal berlangganan Amazon demi menonton serial ini…


Season pertama yang mendapat nominasi Emmy Award ini terdiri dari 8 episode, masing-masing (konon) diangkat dari kisah cinta yang nyata dan terjadi di New York. 


Setiap episode terdapat bintang-bintang Hollywood yang wajahnya familiar. Seperti Dev Pathel, Anne Hatthaway, Tina Fey, dan lainnya. 


Dari 6 episode tersebut, gue suka semuanya. Sebab, setiap cerita menggambarkan kisah cinta yang berbeda. Cinta gak melulu soal sepasang kekasih wanita dan pria, cinta bisa berupa kisah lama yang begitu hangat, kisah orang asing yang kemudian menjadi seperti keluarga sendiri, tentang seorang gadis yang merindukan sosok ayahnya pada seorang pria, atau kisah tentang diri kita yang memaafkan dan menerima diri sendiri. 


“Love is a lot of things,” kata Emma kepada Joshua, yang gue cuplik dari episode 2 Modern Love yang bertajuk “When Cupid is a Prying Journalist”. 






Tentunya, dari 8 episode tersebut, kalau bisa gue pilih 3 terbaik-nya adalah 3 episode ini:

  • When the Doorman is Your Main Man
  • Take Me as I am Who Ever I am , dan 
  • Hers was a world of One 


Jika tidak keberatan (yaelah), izinkan gue untuk mengulas alasan di balik kenapa gue jatuh hati pada 3 episode tersebut. 


Episode pertama yang berjudul “When the Doorman is Your Main Man” sangat cocok sebagai episode pembuka, pencuri perhatian, yang membuat kita menanti episode-episode berikutnya. 


Seperti judulnya, Doorman is Your Main Man. Berkisah tentang penjaga apartemen bernama Guzmin, yang menjadi pembuka pintu untuk para penghuni apartemen sekaligus para penonton serial ini. 


Guzmin, dikenal oleh Maggie sebagai doorman yang kepo dengan urusan asmaranya. Maggie adalah perempuan single, cerdas, bertubuh mungil, dan hidup sendiri di kota yang begitu sibuk dan megah. 


Setiap Maggie berkencan dengan pria, Guzmin akan mengingatkan Maggie tentang si pria tersebut. Kayak; jangan sama yang ini, yang ini ga beres Mag, aduhh yang begini lagi. Tapi Guzmin menyampaikannya dengan gaya yang cool dan selow, gak kaya emak emak yang suka komen di IG selebriti.


Anehnya, penilaian Guzmin tentang pria yang dikencani Maggie selalu benar. Akhirnya, Guzmin dan Maggie berteman, meskipun sedikit janggal. 


Pertemanan ini semakin kuat ketika Maggie diketahui hamil dari salah seorang teman kencan pria-nya. Maggie dan pria itu sama-sama tidak mau menikah, tapi memutuskan untuk melahirkan dan membesarkan sang anak. 


Di masa-masa inilah pertemanan Maggie dan Guzmin semakin erat, hingga akhirnya Maggie melahirkan seorang putri dan putri-nya ini sering dititipkan kepada Guzmin, saat Maggie sibuk bekerja. 


Tanpa sadar, ikatan pertemanan mereka lebih kuat. Bagi Maggie dan putrinya, Guzmin adalah keluarga. Seperti Ayah untuk Maggie, dan kakek untuk putrinya. 



Hingga suatu saat Maggie harus pindah karena pekerjaan dan membawa serta putrinya. 


Sekitar beberapa tahun tak berjumpa, Maggie akhirnya membuka diri untuk berkencan lagi. Kali ini untuk jenjang lebih serius. Tapi, seperti biasa, sang pria harus melewati “Tes Guzmin”. 


Diboyong jauh-jauh ke apartemen lamanya di New York, Maggie dan Guzmin reuni kembali. Saat Maggie mengenalkan calonnya ke Guzmin, kali ini Guzmin merestui dan mendoakan mereka bahagia. 


Ada sebuah pertanyaan yang membuat Maggie penasaran dari dulu, kenapa Guzmin bisa tahu mana lelaki yang tepat dan tidak tepat untuknya. “Bagaimana cara kamu menilai mereka, apa yang kau lihat dari mereka,” tanya Maggie. 


Guzmin menjawab dengan tenang. “Saya tidak pernah melihat mereka, Maggie. Yang saya lihat adalah bagaimana matamu memandang mereka.” 


EAAAAAAAAA! THAT’S SO SO SO SO SO SWEEEEET!








Episode kedua adalah, “Take Me as I Am, Who Ever I am”


Boleh gue sedikit curhat bahwa gue menangis tersedu-sedu banget menonton episode ini. Sebab, setelah sekian lama akhirnya ada yang bisa menceritakan bagaimana kehidupan percintaan seseorang yang memiliki kondisi bipolar, seperti gue. 


Meskipun gambarannya gak tepat-tepat amat sih, tapi ya cukup representatif lah. 


Episode ini akan selalu gw rujuk kepada setiap kawan atau pria yang bertanya, bagaimana dan apa yang harus mereka lakukan dengan seorang pasien bipolar?


Anne Hathaway berperan sebagai Lexi, seorang pengacara yang sukses tapi terus berpindah-pindah kerja dan sulit mendapat pasangan karena mood swings-nya yang ekstrem. 


Oh oh, saat gue sebut ekstrim, itu benar-benar ekstrim dan kita gak tahu kapan itu akan terjadi. 


Bisa suatu waktu Lexi begitu cerah dan bagus moodnya, memakai pakaian warna-warni dan bisa menghadapi apapun di dunia ini dengan begitu optimistis. Lalu dia bertemu dengan seorang pria yang menarik hatinya, dan membuat janji temu. 


Sang pria tertarik dengan kepribadian Lexi yang sangat bersinar. Sampai, akhirnya ia menjumpai sisi “lain” Lexi. Masih Lexi yang sama, tapi karakternya jauh berbeda. 


Lexi adalah kami, adalah gue yang ketika sedang hype bisa memutuskan untuk memikat siapa saja, lalu tanpa alasan yang jelas ingin menghilang dari dunia dan tidak ditemui siapapun. 


Jika pasangan kita tidak mengerti siapa kita, mereka akan kebingungan dan meninggalkan kami. Tapi, jika bertemu orang yang tepat, kami sungguh berharap mereka tidak menyerah saat kami tiba-tiba ingin menghilang. Please find us. 


Extreme mood-nya gak kayak yang digambarkan Lexi juga sih, pagi riang gembira lalu malam tiba-tiba down. Enggak, biasanya butuh waktu. 


Kita bisa masuk fase maniac dalam waktu berpekan-pekan, dan keesokan harinya masuk fase depresi berhari-hari, pekan, bahkan sebulan. Di sini support system adalah kunci. 


Lexi, menutup rapat-rapat pribadinya saat depresi. Sampai akhirnya ia menyadari, “You can’t show only one part of yourself to someone,” kata Lexi. 


Lexi, akhirnya menerima dirinya sendiri. Menerima uluran tangan sahabatnya untuk bercerita dan mencarinya ketika ia membutuhkan, memberi tahu jika ia ingin sendiri. Lexi, akhirnya menjalani pengobatan medis secara rutin dan teratur hingga moodnya bisa lumayan terkendali. 


Sampai akhirnya ia siap membuka hati kembali, dan memulainya dengan membuka dirinya seutuhnya. Lexi, yang terkadang bisa maniac dan bisa depresi. 


Good luck Lexi, Good Luck for Us!


==


Episode kesayangan gue terakhir di season ini adalah; Hers Was a World of One


Okay, episode ini mungkin akan bertentangan dengan nilai atau prinsip beberapa agama. Tapi dari segi penyajian sinematik dan penuturan kisah, gue harus mengakui sangat unik dan apik. 


Berkisah tentang pasangan Andy dan Tobin, as you guess by their name, both are males. Andy yang sudah berpasangan bertahun-tahun dengan Tobin, tiba-tiba ingin memiliki anak. Mengingat kondisi mereka yang tidak memungkinkan untuk memiliki anak secara alamiah, mereka pun ikut program adopsi terbuka dengan bantuan sebuah Yayasan. 


Program adopsi terbuka ini adalah komitmen untuk mengurus anak-anak yang akan dilahirkan oleh para wanita, yang memutuskan tidak bisa membesarkan anak mereka sendiri karena latar belakang atau kondisi mereka. 


Tidak mudah bagi Andy dan Tobin, mendapat kepercayaan dari para calon ibu atau surrogate mother tersebut. Meskipun secara finansial keduanya mapan, memiliki rumah, dan bisa memberikan masa depan yang menjanjikan. Sebab, tidak banyak wanita yang mau menitipkan anaknya pada calon orang tua seperti mereka. 


Sampai suatu waktu, Yayasan menelepon mereka dan mengatakan ada seorang wanita yang bersedia menitipkan anaknya kepada mereka. Tapi, mereka harus bertemu sendiri dengan si wanita tersebut,. 


Mereka bertiga sepakat bertemu di sebuah restoran, Andy dan Tobin pun terkaget-kaget melihat Karla…yang sangat eksentrik dan berjiwa bebas. Tobin dan Andy meyakinkan Karla bahwa mereka akan menjadi orang tua yang bertanggung jawab, menjamin masa depan anak mereka.


Tapi Karla hanya mendengarkan sambil lalu, dan memiliki satu pertanyaan saja. “Apakah kalian benar-benar saling mencintai? Buktikan, bagaimana kalian bisa bertemu dan saling jatuh hati?” 


Andy dan Tobin sama sekali tidak menyangka pertanyaan tersebut, dari semua jawaban yang mereka telah siapkan, tidak ada yang menaruh perhatian seperti Karla. 


Karla melihat ketulusan mereka dan sepakat menitipkan anaknya untuk dirawat Andy dan Tobin di masa depan. Karla akan kembali ke New York, ketika sudah dekat waktu melahirkan. 


Andy dan Tobin girang bukan main, meskipun kehidupan Karla jauh berbeda dengan mereka. Karla, Bahasa gaulnya, adalah perempuan yang anti kemapanan. 


Bertualang dari sana ke sini, tidak punya rumah dan pekerjaan tetap, hanya memiliki seekor anjing. Bagi Karla, hidup adalah kebebasan. Karla menyadari, akan sangat egois baginya jika melahirkan putrinya, dan membesarkannya di dunianya. Putrinya, bagi Karla, punya pilihan hidup sendiri dan tidak harus mengikuti pilihan hidupnya. 


Sambil menunggu pilihan hidup tersebut, ia memilih agar anaknya dibesarkan oleh orang tua yang saling menyayangi dan punya kehidupan lebih baik. Ia mempercayakan putrinya pada Andy dan Tobin. 


Hingga saat bulan ke-8 kehamilannya, Karla memberikan kejutan dengan datang dan memutuskan tinggal bersama Andy dan Tobin. Di sinilah konflik muncul, kehidupan Karla dengan Andy dan Tobin berbeda 180 derajat. Terutama dengan Tobin, yang cinta keteraturan dan kepastian. 


Konflik besar terjadi, sempat ada keraguan apakah Karla akan menyerahkan calon anaknya pada mereka. 


Di sini, cerita dikemas secara apik. Membuat kita melihat dari seluruh sudut pandang, Momen puncaknya tentu saat Karla melahirkan dan melihat putrinya, di situ adalah titik krusial seorang ibu.


Andy dan Tobin yang telah hidup berpekan-pekan bersama Karla, telah menganggap Karla keluarga mereka dan akan menerima seandainya Karla tidak jadi menyerahkan anaknya pada mereka. 


Momen momen haru sih, bagaimana dunia itu berbeda dari sudut pandang masing-masing manusia. Hal yang lazim bagi Karla bisa jadi aneh bagi Tobin, tapi ketiganya punya cinta yang sama besar untuk si janin yang bahkan belum lahir ke dunia. 


Well…well..welll


Sekarang Modern Love udah masuk season 2, tapi gue sendiri belum nonton. Masih marathon Parks and Recrereation….this is also soo gooooooood…


See you on another review!


Tidak ada komentar: